
Oleh : Prof. Dr. M. Amien Rais., MA (Ketua Majelis Syura Partai Ummat)
S.O.S., singkatan dari Save Our Souls, adalah sebuah “ teriakan “ dari seseorang atau kelompok orang yang nyawanya terancam, misalnya seorang nahkoda kapal yang kapalnya membentur bukit karang, sehingga terjadi kerusakan dinding kapal. Karena bocor, kapal terancam tenggelam, sehingga sang nahkoda mengangkat bendera tinggi-tinggi dengan warna yang menyolok. Dengan gerakan-gerakan tertentu, mereka yang dapat membaca morse dan semaphore segera faham bahwa kapal itu dan para penumpangnya menghadapi bahaya tenggelam.
Itu zaman dulu. Sekarang tentu ada alat tebih canggih semisal handphone atau alat lainnya untuk mendeteksi dan mengawasi sejauh mana kapal naas itu menghadapi proses tenggelam ke dasar lautan. Berikut sudah tentu bagaimana cara menolongnya.
Judul tulisan singkat ini terdengar pesimistis buat sebagian orang, tetapi bagi sebagian yang lain, mungkin realistis. Tidak mengada-ada.
Marilah kita lihat sejenak bahwa di paruh kedua abad 20, ada dua negara, yang satu negara besar dan yang satu negara super power. Keduanya lenyap dan hilang dari map ( peta ) dunia. Dua negara itu adalah Yugoslavia dan Uni Soviet. Yugoslavia, negara terkuat di Eropa Timur, dibandingkan dengan Hongaria, Cekoslovakia, Polandia, Bulgaria dll, akhirnya bubar dan lenyap dari peta dunia pada tahun 1992.
Sementara Uni Soviet atau USSR ( Union of Soviet Socialist Republics ) bubar dan pecah menjadi 15 negara pada 1991, yakni : Armenia, Azerbaijan, Belarus, Estonia, Georgia, Kazakhstan, Kyrgistan, Latvia, Lithuania, Moldova, Russia, Tajikistan, Turkmenistan, Ukrania, dan Uzbeskistan.
Pada tahun 1992 itulah, setahun setelah Uni Soviet bubar, Yugoslavia juga bubar dan muncullah 6 negara baru yang saling bersaing, bahkan berperang yang menewaskan ratusan ribu orang terutama penduduk Bosnia-Herzegovina. Enam negara itu adalah Bosnia-Herzegovina, Croatia, Macedonia, Montenegro, Serbia, dan Slovenia.
Nah, nasib tragis kedua negara itu, Yugoslavia dan Uni Soviet, semestinya menjadi pelajaran sejarah berharga buat kita semuanya. Uni Soviet dan Yugoslavia sudah tidak ada lagi di dunia yang fana ini.
Dua tahun sebelum Uni Soviet bubar, Gorbachov meneriakkan 3 slogan perjuangan, yakni glasnost, perestroika dan demo kratizatsiya , keterbukaan, restrukturisasi ekonomi dan demokratisasi. Pernyataan 3 slogan itu too litle and too late. Demikian juga Joseph Tito di ujung akhir eksitensi Yugoslavia berusaha menahan bubarnya Yugoslavia.
Kedua tokoh itu menghadapi 5 persoalan mendasar : pertama, korupsi sudah menusuk ke jantung kekuasaan ; kedua, yang diusung para elite hanyalah kepentingan sempit pribadi, keluarga dan konco-konco mereka ; ketiga, terjadi konflik antar-etnis ; keempat, pusat kekuasaan sudah tidak bisa lagi mengendalikan keinginan daerah untuk melepaskan diri dari kekuasaan pusat ; dan kelima, pusat sudah tidak bisa lagi dipercaya oleh berbagai kelompok sosial-politik, sehingga sudah kehilangan public trust. Persoalan mendasar Indonesia kurang lebih sama dengan Uni Soviet dan Yugoslavia waktu itu.
Dengan hilangnya kepercayaan publik itu, maka otomatis rezim yang berkuasa kehilangan legitimasi. Begitu sebuah rezim sudah kehilangan legitimasi dan kepercayaan dari rakyatnya, maka ibarat sebuah bangunan, bangunan itu perlahan tapi pasti, akan ambruk,
Kekuatan-kekuatan politik di berbagai wilayah dan daerah melakukan gerakan Centrifugal, menjauhi pusat dan ingin merdeka. Sebuah negara bisa hilang lenyap dari peta ( map ) gara-gara centrifugal forces itu.
Kita harus paham bahwa the past, the present and the future, masa lalu, masa sekarang dan masa depan Indonesia menampakan kesinambungan. Masa sekarang mengandung masa lalu, dan masa depan ditentukan oleh masa sekarang.
Sejak merdeka dan berdaulat, bangsa Indonesia sudah mengalami banyak pemberontakan. Antara lain : Pemberontakan PKI Madiun di tahun 1948 ; Pemberontakan DI/TII di Jawa Barat pimpinan Kartosuwiryo ; Pemberontakan RMS ( Republik Maluku Selatan ) pimpinan Soumokil ; PRRI/Permesta ; dan yang paling banyak menumpahkan darah dan nyawa adalah Gestapu PKI tahun 1965. Gara-gara G30S-PKI ini Republik Indonesia pernah membekukan hubungan diplomatik dengan RRT.
Mengapa Indonesia membekukan hubungan diplomatik dengan RRT? Karena RRT terbukti telah memberikan bantuan kepada G30S-PKI baik dalam persiapan, pelaksanaannya maupun pada masa-masa sesudahnya. Kalimat ini dapat ditemukan dalam buku Jejak Langkah Pak Harto. Kita menduga, mengapa Mulyono dalam 10 tahun kekuasaannya sangat akrab dengan RRT, melebihi negara manapun juga. Mengapa? Ini pertanyaan yang tidak memerlukan jawaban. Hanya saja ada kata-kata Mulyono yang tidak pernah kita lupakan : Ketika PKI memberontak pada September 1965, kata Mulyono, saya kan masih balita, berumur 4 tahun. Masa ada balita PKI.
Lewat tulisan singkat ini, saya hanya ingin mengajak kita semua, anak-anak bangsa, agar Indonesia tidak bernasib seperti Yugoslavia dan Uni Soviet. Bubar dan Tenggelam. Insya Allah, Indonesia tidak akan tenggelam. Amien Ya Robbal Alamien.