
Jakarta – Partai Ummat akan segera melakukan judicial review atau uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK) terhadap ketentuan pasal UU Pemilu mengenai verifikasi faktual yang dianggap tidak adil dan tidak relevan lagi karena bertentangan dengan azas keadilan dan persamaan di depan hukum.
“Partai Ummat memandang verifikasi faktual ini sebagai sesuatu yang tidak masuk akal dan melawan azas keadilan. Karenanya kita mengajak semua pihak untuk ikut serta memperjuangkan keadilan dengan mengajukan uji materi ke MK,” kata Ketua Umum Partai Ummat Ridho Rahmadi, Rabu (5/3).
Partai Ummat mencatat pasal 173 ayat (1) UU Nomor 7 Tahun 2017 yang menyatakan “Partai Politik Peserta Pemilu merupakan partai politik yang telah ditetapkan/lulus verifikasi oleh KPU” telah beberapa kali diuji di MK, seperti oleh Partai Idaman, Partai Garuda, Partai Berkarya, Perindo, PSI dan Prima. Namun hanya sebagian permohonan dari Partai Idaman dan Partai Garuda yang dikabulkan.
Dalam amar putusannya, MK mengabulkan sebagian permohonan Partai Idaman dalam frasa ‘telah ditetapkan’ dan permohonan Partai Garuda, sehingga pasal 173 ayat (1) tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai seperti bunyi ayat tersebut.
“Perbedaan perlakuan terhadap partai politik yang sudah memenuhi ambang batas parlemen (parliamentary threshold) dengan partai politik yang belum memenuhi ambang batas parlemen tidak sesuai dengan asas equality before the law. Perbedaan perlakuan ini menggunakan kriteria yang tidak relevan,” kata Ridho.
Ridho mengatakan agar tidak terjadi perbedaan perlakuan terhadap partai politik, verifikasi dilakukan kepada seluruh parpol calon peserta pemilu atau hanya kepada partai yang belum pernah memenuhi persyaratan verifikasi.
“Karena, jika kita kembalikan pada esensi verifikasi, verifikasi seharusnya hanya dilakukan terhadap partai yang belum memenuhi syarat verifikasi sehingga cukup dilakukan sekali saja. Jika partai pernah diverifikasi dan pernah memenuhi persyaratan, maka tidak perlu diverifikasi ulang terlepas dari hasil perolehan suara atau kursinya di DPR,” kata Ridho.
Ridho menjelaskan, istilah verifikasi faktual sebenarnya juga tidak tercantum di UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Istilah verifikasi faktual hanya tercantum di UU Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilu yang sudah dicabut dengan terbitnya UU Nomor 7 Tahun 2017 tersebut. “Sehingga ketika KPU menggunakan istilah verifikasi faktual pada peraturan KPU, ini sebenarnya norma yang sama sekali tidak diamanatkan oleh UU di atasnya,” tandas Ridho.