
Oleh : Taufik Hidayat, Sekjen Partai Ummat
Jutaan pena mungkin telah tumpah untuk mengukir keteladanan Nabi Muhammad SAW dalam berbagai dimensi kehidupan. Keteladanan yang tak kalah pentingnya adalah keteladanan Nabi Muhammad SAW dalam bidang politik yang telah berhasil membina sebuah masyarakat Islam di negara Madinah Al-Munawwarah pada 14 abad silam.
Tentunya begitu melimpah fakta dan data terkait dengan keteladanan Nabi Muhammad SAW. dibidang politik, tetapi dari begitu banyak keteladanan tersebut, ada beberapa keteladanan yang dapat dijadikan pelajaran penting bagi generasi hari ini maupun yang akan datang.
Pertama, Nabi Muhammad SAW diutus oleh Allah SWT bukanlah untuk menjadi penguasa politik tetapi lebih tinggi dari itu yaitu menjadi pembimbing manusia untuk selamat dan bahagia dalam kehidupan di dunia maupun di akhirat. Penguasa politik biasanya hanya fokus pada hal yang terkait dengan faktor keduniawian saja seperti kesehjahteraan, keamanan dan keadilan sedangkan bagaimana agar hidup di dunia ini tidak tersesat dan berjaya hingga akhirat seringkali luput dari tujuan berpolitik pada lazimnya.
Oleh sebab itu, dalam perkataan, sikap maupun tindakan yang dilakukan Nabi Muhammad SAW tidak pernah dikhususkan hanya pada dimensi politik an sich – jika politik dimaknai sebagai seni kekuasaan atau berkuasa – sehingga kita akan menemui jalan buntu jika hanya mengkategorikan aktivitas politik semata dari Nabi Muhammad SAW. Oleh sebab itu, mendefinisikan Rasulullah SAW. sebagai seorang politisi bukanlah suatu yang layak dan kurang tepat jika dilihat dari definisi politisi yang kita pahami pada hari ini.
Karena definisi politisi biasanya berkutat pada keahlian politik seorang individu dalam mencapai kekuasaan atau jabatan politik dan merawatnya,[1] dengan ruang lingkup seperti ini maka untuk mengkategorikan tindakan tertentu dari Nabi Muhammad SAW sebagai seorang politisi alih -alih akan berujung pada gambaran yang kurang baik pada diri Nabi Muhammad SAW. Dengan demikian, untuk menggambarkan keteladanan Nabi Muhammad SAW. dalam bidang politik haruslah dikaitkan dengan misi dakwah beliau sebagai seorang nabi dan rasul yang membawa risalah yang agung.
Dimensi aktivitas politik yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW. wajib dimaknai sebagai sebuah satu kesatuan yang tidak dapat terpisahkan dari aktivitas dakwah Rasulullah SAW. dalam menyampaikan ajaran Islam. Penolakan atas tawaran kekuasaan yang diberikan oleh para kafir Mekkah dalam menghentikan dakwah Nabi Muhammad SAW. merupakan sebuah indikator yang sangat kuat menggambarkan integrasi antara politik dan dakwah. Karena jika kalkulasi Nabi Muhammad SAW. hanyalah berupa kekuasaan tentunya pada saat kekuaasan itu ditawarkan dengan serta merta akan langsung diterima.
Menjadikan kekuasaan / pengaruh politik sebagai jaminan kelancaran dakwah juga bukan sikap yang diajarkan nabi Muhammad SAW. Karena dalam kekuasaan politik yang belum ter-shibghah dengan nilai-nilai ke-Islam-an pastilah terjadi kompromi untuk saling berbagi kepentingan. Ketika kompromi terjadi antara kekuatan politik yang murni berlandaskan dengan nilai-nilai Islam dengan kekuatan politik yang masih ragu atau anti dengan nilai – nilai Islam akan membuka peluang terjadinya pembelokkan pada visi dan misi dakwah. Sehingga aktivitas dakwah dalam bidang politik untuk pertama kalinya adalah melakukan pemurnian (Tashfiyah) terhadap segala keyakinan yang masih meragukan Islam sebagai satu satunya jalan keselamatan di dunia maupun akhirat.
Aktivitas dakwah politik dalam rangka pemurnian ini tentulah berbeda situasi dan kondisi secara teknisnya, misalnya pada masa Rasulullah SAW, kekuatan anti dakwah dan Islam menguasai sistem politik jahiliyah Mekkah pada masa itu, sehingga tidaklah mungkin Rasulullah SAW. dapat masuk ke dalam sistem politik saat itu untuk melakukan pemurnian tersebut karena sistem politik pada saat itu secara terang-terangan menolak ajaran Islam.
Sedangkan pada saat ini, sebagian besar sistem politik di negara-negara Islam tidak menjadikan ajaran Islam sebagai sesuatu yang ditolak secara mentah-mentah dalam proses pembuatan aturan / legislasi, sehingga masuknya kita ke dalam sistem politik yang ada saat ini sebagai sebuah usaha untuk melakukan pemurnian dari dalam yang akan menambah bobot bangunan kekuatan dakwah yang sudah ada. Hanya saja, masuknya misi pemurnian tersebut ke dalam sistem politik hanyalah salah satu ikthiar darurat dengan kaidah “Ma Yudraku Kulluhu wa La Yutraku Kulluhu”.
Kedua, Nabi Muhammad SAW. selalu melakukan kalkulasi atas resiko maslahat dan mudharat dalam setiap aktivitasnya bagi kepentingan dakwah Islam, sehingga jika terdapat aktivitas terkait dengan kekuasaan atau politik maka yang menjadi bahan pertimbangan beliau adalah sejauhmana aktivitas politik tersebut dapat memberikan kemaslahatan atau kemudharatan bagi kelancaran dakwah yang beliau lakukan. Bisa dikatakan, panglima dari aktivitas politik adalah kepentingan dakwah itu sendiri.
Sebagai contoh, Perjanjian Hudaibiyah merupakan aktivitas politik yang dilakukan Nabi Muhammad SAW dalam usahanya untuk mempermudah jalan dakwah. Bagi sahabat sekelas Umar bin Khattab RA saja kurang dapat menerima isi perjanjian yang tidak seimbang dan terkesan menguntungkan secara politis pihak kafir Mekkah, tetapi Rasulullah SAW punya kalkulasi lain yang dimensinya berbeda. Nabi Muhammad SAW mendapatkan kesempatan waktu untuk meluaskan konsolidasi dakwahnya maupun pengikutnya untuk tidak diganggu selama perjanjian berlangsung. Sebuah kalkulasi yang melampaui dimensi politik dan lebih mementingkan kalkulasi kepentingan dakwah. Pada akhirnya, Allah SWT memberikan pertolongan akibat kalkulasi tersebut dengan Fathu Mekkah tanpa ada pertumpahan darah setetes pun.
Ketiga, Bagi Nabi Muhammad SAW, Negara merupakan instrumen untuk melaksanakan hukum Islam yang berdimensi publik (Jinayah), sehingga kehadiran negara menjadi wajib untuk kesempurnaan pelaksanaan hukum – hukum Islam terutama yang terkait hukum publik. Bangunan negara Madinah beserta piagam yang telah disepakati oleh seluruh warga Madinah menjadi bukti bahwa negara dibutuhkan untuk membangun persatuan dan persaudaraan diantara masyarakat yang berbeda suku, agama dan ras dalam satu kesepakatan yang ditaati bersama. Konsep negara modern yang berlandaskan supremasi hukum (kesepakatan bersama) telah dilaksanakan secara sungguh-sungguh pada zaman itu. Setiap hukum publik masing-masing agama bisa bebas dilaksanakan diantara pemeluknya kecuali terjadi kasus yang melibatkan orang Islam. Nabi Muhammad SAW memberikan keadilan dan kepastian hukum bagi setiap warga negara Madinah serta sama- sama memajukan negara tersebut untuk kebaikkan bersama.
Dalam hal konsep bernegara, seringkali Nabi Muhammad SAW disalahpahami membentuk negara bangsa / nation state yang berlandaskan pada rasa senasib dan sepenanggungan, padahal yang dilakukan Nabi Muhammad SAW adalah negara berdasarkan kesepakatan dengan ajaran Islam sebagai pengendali atau hukum dasar dari kesepakatan tersebut. Setiap warga negara yang tidak beragama Islam menyadari bahwa ajaran Islam telah mampu memberikan rasa aman dan kepastian hukum dalam kehidupan masyarakat sehingga aturan Islam yang diterapkan nabi menjadi opsi utama bagi pemeluk agama non Islam. Walaupun ada kasus dimana pemeluk agama lain menginginkan penerapan hukum agama atau adat mereka tetapi ini hanya berlaku secara internal / perdata diantara mereka. Ajaran Islam telah tumbuh menjadi living law selama nabi tinggal di Madinah sehingga masyarakat tidak memerlukan waktu yang lama untuk beradaptasi ketika piagam Madinah disepakati sebagai konstitusi negara Madinah.
Keempat, Nabi Muhammad SAW. menjadikan amanah kekuasaan adalah sesuatu yang sakral yang tidak bisa sembarangan dijalankan oleh orang orang yang tidak mempunyai kekuatan jiwa dan kapasitas kepemimpinan. Kekuasaan bukanlah barang mewah yang harus diperebutkan malah sebaliknya nabi Muhammad SAW seringkali memberikan kewaspadaan yang sangat tinggi kepada para sahabatnya terkait dengan kekuasaan karena dapat menjadi sumber malapetaka atau bencana bagi mereka yang gagal menjalankannya. Dengan kata lain, mengejar amanah kekuasaan sama saja mengejar sesuatu yang posisinya berada di tepi jurang neraka, jika salah dalam mengelola kekuasaan maka akan beresiko terpeleset masuk ke dalam api neraka.
Keinginan nafsu ambisi dalam mendapatkan jabatan akan menjauhkan seorang hamba dari pertolongan dari Allah SWT., karena rumit dan kompleksnya mengurus kekuasaan maka pertolongan Allah SWT. sangat dibutuhkan dalam mengelola kekuasaan. Segala ekses negatif dari kekuasaan hanya bisa diatasi dengan adanya perlindungan dari Allah SWT. semata. Hal-hal yang ghaib dan masa depan yang tak pasti hanya bisa dipastikan melalui adanya perlindungan Allah SWT.
Wajarlah ketika Rasulullah SAW. tidak pernah khawatir akan kondisi umatnya jika berada dalam kelaparan atau kemiskinan, tetapi justru yang sangat dikhawatirkan Rasulullah SAW. adalah ketika dunia dibentangkan (dikuasai) oleh umat Islam dan berujung tragis seperti hancurnya umat -umat terdahulu karena dimabukkan oleh urusan dunia.[2] Karena kekuasaan secara empiris telah banyak merubah karakter orang, baik yang taat beragama maupun tidak. Banyak orang yang tadinya sebelumnya berkuasa sangat bersifat ramah dan bersahabat dengan siapapun tetapi ketika kekuasaan / dunia datang kepadanya maka perubahan 180 derajat dapat terjadi pada diri orang tersebut.
Oleh sebab itu, Rasulullah kerap mendidik (Tarbiyah) para sahabatnya untuk “menghinakan” dunia dan segala fasilitasnya dengan cara – cara yang cukup berkesan dengan analogi yang memudahkan pemahaman. Suatu masa Rasulullah menyampaikan kehinaan dunia dengan analogi rendahnya harga dunia dibanding sayap seekor lalat.[3] Masa lain pula, Rasulullah SAW merendahkan dunia dengan analogi bahwa Allah SWT. lebih menghinakan dunia dibandingkan hinanya bangkai anak kambing yang cacat telinganya di mata para sahabat. [4] Rasulullah SAW. pun pernah memberikan peringatan keras akan fitnah kekuasaan / kedudukan yang dapat menghancurkan agama seseorang dengan analogi tingkat keparahan yang lebih dahsyat dibandingkan keganasan dua serigala yang lapar ketika dilepaskan ke kerumunan kambing yang siap disantap.[5]
Semua analogi di atas yang bersifat komparatif superlatif merupakan cara Rasulullah untuk menanamkan kewaspadaan di hati para sahabatnya dan umat Islam yang akan datang betapa dahsyatnya fitnah dunia yang bisa makin buruk jika ditopang dengan kekuasaan tanpa visi akhirat. Sehingga orang – orang yang menduduki kekuasaan dengan fitnah yang dahsyat tersebut tidak mungkin lolos dari kehancuran agama dan dirinya jika hanya mengandalkan kemampuan ilmu pribadi atau kesolehan an sich.
Rasulullah SAW. mensyaratkan hati/mental yang kuat bagi para pemegang kekuasaan seraya terus meminta perlindungan Allah SWT. agar terhindar dari fitnah kekuasaan tersebut. Kekuasan hanyalah untuk orang yang dianggap mampu menjalankan kekuasaan tersebut karena Rasulullah SAW. beberapa kali menolak memberi kekuasaan kepada orang yang meminta seperti kepada Abu Dzar Al-Ghifari [6] dan Abdurrahman bin Samurah [7].
Rasulullah SAW. mengajarkan kepada sahabatnya bahwa kekuasaan itu adalah hal yang menjadi penyesalan nanti di hari kiamat dan akan mendapat siksa yang pedih bagi yang tidak mampu menunaikan amanah apalagi bagi yang menyelewengkannya. Tetapi jika kekuasaan itu diberikan atas dasar penilaian orang lain yang mengganggap kita mampu untuk menjalankan amanah tersebut dan kita tidak meminta-minta maka Allah SWT akan menolong orang tersebut.[8]
Kelima, Rasulullah SAW mengajarkan kepada sahabatnya bahwa perlu ada Mujahadah untuk Tazkiyatunnafs dalam menjalani aktivitas kehidupan sehari-hari apalagi terkait dengan kehidupan politik yang penuh dengan fitnah dan ujian. Para sahabat Rasulullah SAW. biasanya rutin mendawamkan doa dan zikir baik pagi hari dan petang, menghadiri majlis Ilmu, rutin membaca Al-Qur’an, melakukan puasa sunnah, shalat tahajud dan shalat-shalat sunnah mutlaq. Semua ini dilakukan untuk menjaga dan memenej hati agar selalu dekat dengan Allah SWT, oleh sebab itu, para sahabat tidak disibukkan dengan kegiatan yang menghabiskan waktu sia-sia seperti banyak yang dilakukan oleh para politisi masa kini.
Rapat yang dijalankan berlarut-larut hingga lewat tengah malam, nongkrong di kafe atau kedai-kedai kopi tanpa mengenal waktu, berlibur untuk hanya kepuasan pribadi, dan berbagai macam aktivitas yang sering kita lihat saat ini pada diri para politisi adalah cerminan rusaknya para politisi kita dalam memenej waktu sehingga aktivitas Tazkiyatunnafs menjadi terkorbankan. Kebanyakan politisi beralasan bahwa semua hal itu dilakukan sebagai usaha untuk me-maintain kekuasaan, karena asumsinya kekuasaan itu harus dipertahankan with all costs termasuk didalamnya terus merawat jaringan agar tidak beralih kepada kelompok politik lain atau figur lain, sehingga pertemuan-pertemuan hingga larut malam, ngobrol berbusa-busa dan kegiatan lainnya seakan menjadi ciri khas dari para politisi saat ini.
Padahal, Allah SWT sudah berfirman bahwa kekuasaan tersebut adalah “hadiah” dari Allah SWT kepada siapa-siapa yang dia kehendaki seperti firman Allah SWT di dalam Al-Qur’an pada ayat 26 surat Ali-Imron. Bagi orang yang yakin akan ayat ini, maka usaha-usaha untuk me-maintain kekuasaan seperti disebutkan di atas merupakan usaha yang tidak sesuai dengan sunnah Rasulullah SAW. Mafhum Mukhallafah ayat ini bisa diasumsikan bahwa semakin kekuasaan itu dikejar maka kekuasaan tersebut bisa jadi akan semakin jauh, karena Allah SWT. paling tahu kepada siapa kekuasaan itu akan diberikan.
Demikianlah, beberapa intisari mutiara keteladanan sikap dan perilaku politik Rasulullah SAW yang dapat kita petik pelajaran dan hikmahnya untuk dapat kita terapkan dalam kehidupan para politis yang bervisi akhirat.
Endnote: [1] https://www.merriam-webster.com/dictionary/politician, [2] Hadits riwayat Muslim (2961) dan al-Bukhari (6425), [3] HR. Tirmidzi nomor 2242, [4] HR. Muslim nomor 7607, [5] HR. Ahmad 16198, [6] H.R. Muslim nomor 1825, [7] H.R. Bukhari nomor 7146, [8] Ibid.